(Argumentasi Hukum) Putusan MK Nomor 21-22/PUU-VI/2007

Putusan MK Nomor 21-22/PUU-VI/2007 Tentang Uji Material UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (PM) terhadap UUD 1945

1.Pendahuluan

Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara untuk memajukan kesejahteraan umum, yang telah dijabarkan pada pasal 33 UUD 1945, dalam konsep pembangunan ekonomi nasional berdasar pada prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi indonesia .

Penanaman modal merupakan upaya penunjang yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dengan mengatasi hambatan yang ada selama ini, maka lahirnya UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal .

Tujuan penyelenggaran modal penanaman modal antara lain: melakukan perbaikan koordiasi antar instrasi pemerintah pusat dan daerah, penciptaan birokarsi yang efesian, kepastian hukum dibidang penannaman modal , biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yanh kondusif dibidang ketenagkerjaaan dan keamanan negara.

Pokok masalahan pasal 22 UU No. 25 tahun 2007, yang memberi waktu investor lebih lama dan cara perpanjangan yang sebenarnya hak-hak tersebut di atur dalam UUPA.

II. Isu Hukum

Apakah Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai institusi mempunyai hak memeriksa hak uji materiil?
Apakah pertimbangan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-VI/2007 sesuai dengan konsep UUPA.?

III. Analisa 1 : Apakah Mahkamah Konsitusi (MK) sebagai institusi mempunyai hak memeriksa hak uji materiil

Kewenangan MK
hukum yang dipakai untuk melakukan pengujian oleh hakim adalah norma hukum yang lebih tinggi atau sekurang-kurangnya norma hukum yang setingkat , terutama apabila pengujian yang dilakukan bersifat formil. Norma hukum yang paling tinggi adalah konstitusi, karenanya pengujian terhadap materi UU peniliannya berdasarkan norma dasar yang terkandung dalam konstitusi. Dengan demikian yang diuji apakah konstitusionalitas materi UU, konstitusionalitas dan legalitas prosedur penetapan UU ataupun legalitas kompentensi kelembagaan yang menetapkan UU tersebut.

Sedangkah materi peraturan di bawah UU dinilai berdasarkan UU, demikian juga peraturan yang ada dibawahnya, dinilai berdasarkan yang berada di atasnya. Karena hubungan hirarkis antar peraturan perundang-undangan itu seyogianya bersifat sistemik dan inter-related secara vertikal, subyek hakim penguji (judicial review) seharusnya bersifat intergrated atau terpadu di satu institusi[1].

Pasal 24 A ayat 1 perubahan ketiga UUD 1945 dinyatakan:
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenaangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang .

Sedangkan pasal 23C ayat 1 menyatakan:
Mahkamah Konsitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang –Undang Dasar.[2]

Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.[3]

Dengan demikian, pengujian terhadap materi peraturan oleh MK hanya sebatas konstitusionalitas UU dan menyelesaikan sengketa wewenang antar lembaga negara yang kewenanganya di berikan UUD .

IV. Analisa 2 : Apakah pertimbangan Putusan MK Nomor 21-22/PUU-VI/2007 sesuai dengan konsep UUPA.?

Kasus Posisi
Pada tahun 2007 Pemohon mengajukan pengujian UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (PM) terhadap UUD 1945 antara lain :
- Diah Astuti, atas nama Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Indonesia (PBHI)
- Henry Saragih, atas Fedarasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
- M.Nur Uddin, atas nama Aliansi Petani Indonesia (api)
- Dwi Astuti, atas nama Yayasan Bina Desa Sadijiwa (YBDS)

Pertimbangan MK
1) bahwa dalil para pemohon tentang inkonstitusionalitas pasal 22 UU No 25 sebagai akibat adanya kata-kata ”dimuka sekaligus” pada ayat 1 dan ayat 2 dan kata-kata ”sekaligus di muka pada ayat 4 adalah beralasan:
2) bahwa karena dalil para pemohon beralasan, sebagimana diuraikan pada butir di atas, maka pasal 22 ayat 2 huruf a,b,c menjadi kehilangan relevensinya seharus dihapuskan;
3) bahwa sebagai akibat dinyatakan inonstitusional jetentuan apsal 22 UU No. 25 tahun 2007;
4) dasar di atas, maka terhadap pemberian kemudahan dan/atau pelayanan kepada perusahaan, PM untuk memperoleh hak atas tanah, sepanjangn berkaiatan langsung dengan PM, ketentuan yang berlaku aalah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perudang-undangan. Lainnya;
5) bahwa pasal 12 ayat 1 huruf b UU PM adalah konstitusional bersyarat yaitu sepanjangn kata-kata” berdasarkan UU” ini maksudnya sama artinya penegrtian “ oleh UU” dan oleh karena itu dalih tentang inkonsitusionalitas ketentuan a quo harus dinyatakan ditolak’
6) bahwa dalil para pemohon tentang inkonstitusionalitas ketentuan pasal 1 ayat 1, pasal 3 ayat 1, 3, pasal 4 ayat 2 huruf a, pasal 8 ayat 1 dan ayat 3, apsal 12 ayat1 , 3, 4 PM adalah tidak beralasaan sehingga permohonan seluruhnya harusdinyatakan ditolak.

Putusan MK:
1. Menyatakan permohonan para pemohon dikabulkan untuk sebagaian.
2. menyatakan pasal 22 ayat 1, 2, , 4 UU PM bertentang dengan UUD 1945.

Analisa
UU No 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), telah mengatur jangka waktu dan peranjangan HGU, HGB, Hak pakai dan dalam PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU,HGB dan Hak pakai Atas Tanah. Dalam rangka meningkatan arus investasi, keluarlah UU No.5 Tahun 2007, yang menjadi masalah pasal 22 yang menyimpangan UUPA dalam jangka waktu dan perpanjangan dalam HGU,GHB dan hak pakai.

Putusan Nomor 21-22/PUU-VI/2007 yang menyatakan bahwa, pasal 22 ayat 1, 2, , 4 UU PM bertentang dengan UUD 1945, mengarah pada dasar hak menguasai negara pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang ditafsirkan mengenai kedudukan negara atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian dapat dikatakan negara menguasai bukan memiliki agraria dan ini menunjuk pasal 2 UU No.5 Tahun UUPA.

MK menguji undang-undang terhadap Undang –Undang Dasar , dan Putusan Nomor 21-22/PUU-VI/2007 menyatakan pasal 22 ayat 1, 2, , 4 UU PM bertentang dengan UUD 1945.Jadi bukan mempertentangkan asas atau uu dengan uu yang ada.

[1] Judicial Review, Kajian Atas Putusan Permohonan Hak Uji Materiil Terhadap PP No.19 Tahun 2000 tentang TGPTPK, Dictum edisi 1, 2002
[2] Republik Indonesia, Putusan Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2001, Sekretariat Jendral MPR-RI, 2001 Hal 13.
[3] Ibid
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.