Pembalakan liar (illegal logging) bukan kejahatan yang melibatkan masyarakat miskin yang kehidupannya bergantung kepada hutan, supir truck ataupun penjaga hutan bergaji kecil. Kejahatan pembalakan liar melibatkan penyokong dana atau kerennya dipangging “cukong” industri kayu illegal dan pejabat publik. Pembalakan liar menjadi masalah yang kompleks, tidak hanya bagi Indonesia juga bagi komunitas kehutanan internasional.
Telah banyak tindakan yang sudah dilakukan dalam memberantas kejahatan ini logging) dengan berbagai kebijakan. Mulai dari upaya pemberantasan di dalam negeri maupun dalam bentuk kerjasama dengan negara lain. Tujuannya untuk menyelamatkan upaya pengelolahan hutan secara lestari.
Pembalakan liar yang secara ekologi dan sosial budaya merugikan negara trilyuan rupiah setiap tahun. Itu belum termasuk biaya kompensasi dari bencana yang akan ditimbulkan. Yang perlu dipertanyakan bagaimana penegakan hukumnya? Bagaimana menangkap otak intelektual dibalik kejahatan ini?
Pemberantasan kejahatan ini perlu dilakukan dengan cara dan pendekatan yang sistemik, maksudnya bagaimana dapat menangkap aktor intelektuanya. Tindakan ini sebagai satu upaya antisipasi terhadap meluasnya perbuatan kejahatan pembalakan liar. Pada akhirnya pengadilan pidana merupakan salah satu usaha masyarakat untuk dapat mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada dalam batas-batas toleran.
Cukong adalah otak di balik kejahatan pembalakan liar. Ia yang merencanakan semua langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk mengambil kayu secara illegal dan menjualnya seakan kayu tersebut diperoleh secara legal. Tahapan operasi para cokong ini, pertama, membayar sejumlah uang untuk para penebang dan pimpinan masyarakat lokal. Pembayaran ini dapat berupa uang tunai, infrastruktur (seperti jalan dan fasilitas umum lainnya) atau jasa lainnya (misalnya kunjungan ke bar atau rumah bordil) dengann kompensasi mendapat akses jalan menuju hutan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh kayu.
Kedua, menyuap oknum di sektor kehutanan untuk memperoleh surat-surat sah. Proses ini pada dasarnya mencuci kayu illegal menjadi kayu legal. Ketiga, melakukan suap kepada oknum polisi, bea cukai dan aparat kehutanan di beberapa titik pemeriksaan untuk menjaga kelancaran transportasi kayu illegal kepada pembeli kayu.
Keempat, setelah menerima kayu bulat yang sudah ”cuci”, pembeli kayu memerintahkan bank mereka untuk mengkredit rekening cukong di bank yang sama atau mentrasfer uang ke rekening cukong di bank lain. Rekening-rekening ini bisa terdapat di Indonesia atau di luar negeri.
Untuk benar-benar menyembuyikan jejak bisnis kayu illegal, langka terakhir cukong dapat mengintegrasikan dana dari bisnis non kayu legal ke dalam rekening bisnis kayu illegal. Bisnis legal ini dapat berupa perdagangan umum, bisnis perhotelan, dan bisnis hiburan. Pada beberapa situasi, cukong menggunakan keuntungan dari kegiatan-kegiatan illegal, seperti penipuan dan obat terlarang untuk berinvestasi di bisnis kehutanan yang illegal maupun legal. Dengan harta hasil kejahatan non-kehutanan tersebut, cukong dapat mendanai perdagangan dan pengangkutan kayu illegal serta pembangunan pabrik penggergajian kayu.
Cukong juga menjaga hubungan baik dengan oknum pengambil keputusan kunci dalam pemerintahan (termasuk penegak hukum dan militer) dan legislatif. Mereka biasanya mentransfer uang pertemuan (goodwill) ke rekening bank yang dimiliki oleh oknum pengambil keputusan kunci tersebut atau perwakilannya di Indonesia atau di luar negeri. Kadang-kadang, bank lokal juga menerima simpanan dari pemimpin masyarakat lokal dan aparat pemerintah yang menerima suap dari penyokong dana (Setiono Bambang dan Husein Yunus;2007).
Pelaku dalam kejahatan ilegal logging dapat dikelompokan sebagai berikut:
Masyarakat setempat dan masyarakat pendatang. Pelaku ini melakukan kegiatan penebangan secara langnsung baik utuk kepentingan sendiri maupun untuk dijual kepada pengusaha kayu atau pemilik modal. Laju perusahaan hutan akibat kegiatan yang dilakukan oleh pelaku ini relatif kecil oleh karena modal dan peralatan yang dimiliki masih terbatas.
Telah banyak tindakan yang sudah dilakukan dalam memberantas kejahatan ini logging) dengan berbagai kebijakan. Mulai dari upaya pemberantasan di dalam negeri maupun dalam bentuk kerjasama dengan negara lain. Tujuannya untuk menyelamatkan upaya pengelolahan hutan secara lestari.
Pembalakan liar yang secara ekologi dan sosial budaya merugikan negara trilyuan rupiah setiap tahun. Itu belum termasuk biaya kompensasi dari bencana yang akan ditimbulkan. Yang perlu dipertanyakan bagaimana penegakan hukumnya? Bagaimana menangkap otak intelektual dibalik kejahatan ini?
Pemberantasan kejahatan ini perlu dilakukan dengan cara dan pendekatan yang sistemik, maksudnya bagaimana dapat menangkap aktor intelektuanya. Tindakan ini sebagai satu upaya antisipasi terhadap meluasnya perbuatan kejahatan pembalakan liar. Pada akhirnya pengadilan pidana merupakan salah satu usaha masyarakat untuk dapat mengendalikan terjadinya kejahatan negara berada dalam batas-batas toleran.
Cukong adalah otak di balik kejahatan pembalakan liar. Ia yang merencanakan semua langkah dan strategi yang harus dilakukan untuk mengambil kayu secara illegal dan menjualnya seakan kayu tersebut diperoleh secara legal. Tahapan operasi para cokong ini, pertama, membayar sejumlah uang untuk para penebang dan pimpinan masyarakat lokal. Pembayaran ini dapat berupa uang tunai, infrastruktur (seperti jalan dan fasilitas umum lainnya) atau jasa lainnya (misalnya kunjungan ke bar atau rumah bordil) dengann kompensasi mendapat akses jalan menuju hutan alam yang dibutuhkan untuk memperoleh kayu.
Kedua, menyuap oknum di sektor kehutanan untuk memperoleh surat-surat sah. Proses ini pada dasarnya mencuci kayu illegal menjadi kayu legal. Ketiga, melakukan suap kepada oknum polisi, bea cukai dan aparat kehutanan di beberapa titik pemeriksaan untuk menjaga kelancaran transportasi kayu illegal kepada pembeli kayu.
Keempat, setelah menerima kayu bulat yang sudah ”cuci”, pembeli kayu memerintahkan bank mereka untuk mengkredit rekening cukong di bank yang sama atau mentrasfer uang ke rekening cukong di bank lain. Rekening-rekening ini bisa terdapat di Indonesia atau di luar negeri.
Untuk benar-benar menyembuyikan jejak bisnis kayu illegal, langka terakhir cukong dapat mengintegrasikan dana dari bisnis non kayu legal ke dalam rekening bisnis kayu illegal. Bisnis legal ini dapat berupa perdagangan umum, bisnis perhotelan, dan bisnis hiburan. Pada beberapa situasi, cukong menggunakan keuntungan dari kegiatan-kegiatan illegal, seperti penipuan dan obat terlarang untuk berinvestasi di bisnis kehutanan yang illegal maupun legal. Dengan harta hasil kejahatan non-kehutanan tersebut, cukong dapat mendanai perdagangan dan pengangkutan kayu illegal serta pembangunan pabrik penggergajian kayu.
Cukong juga menjaga hubungan baik dengan oknum pengambil keputusan kunci dalam pemerintahan (termasuk penegak hukum dan militer) dan legislatif. Mereka biasanya mentransfer uang pertemuan (goodwill) ke rekening bank yang dimiliki oleh oknum pengambil keputusan kunci tersebut atau perwakilannya di Indonesia atau di luar negeri. Kadang-kadang, bank lokal juga menerima simpanan dari pemimpin masyarakat lokal dan aparat pemerintah yang menerima suap dari penyokong dana (Setiono Bambang dan Husein Yunus;2007).
Pelaku dalam kejahatan ilegal logging dapat dikelompokan sebagai berikut:
Masyarakat setempat dan masyarakat pendatang. Pelaku ini melakukan kegiatan penebangan secara langnsung baik utuk kepentingan sendiri maupun untuk dijual kepada pengusaha kayu atau pemilik modal. Laju perusahaan hutan akibat kegiatan yang dilakukan oleh pelaku ini relatif kecil oleh karena modal dan peralatan yang dimiliki masih terbatas.
Pemilik modal (cukong) atau pengusaha. Pelaku ini berperan sebagai fasilitator atau penadahan hasil kayu curian, bahkan, menjadi otak dari pencurian kayu.
Pemilik industri kayu atau pemilik Hak Penguasaan Hutan (HPH). Pelaku ini bisa bertindak sebagai pencuri kayu dan bisa bertindak sebagai penadah kayu.
Nahkoda kapal. Pelaku ini bisa berperan sebagai turut serta melakukan, atau membantu melakukan penyelundupan kayu atau kejahatan penebangan liar (illegal logging).
Oknum pejabat pemerintah atau oknum aparat penegak hukum. Pelaku ini bisa berasal dari oknum TNI, oknum Polri, Jagawana/PNS kehutanan, aparat Bea dan Cukai , oknum pemerintah daerah, oknum anggota DPRD, dan oknum kepolisian baik dari pusat maupun dari daerah. Pelaku ini bisa terlibat dalam KKN dengan pengusaha dan atau melakukan manipulasi kebijakan dalam pengelolaan hutan atau pemberian konsesi penebangan yang dapat menimbulkan kerusakan pada hutan.
Pengusaha asing. Pelaku ini kebanyakan berperan sebagai pembeli atau penadah hasil kayu curian.
Pelaku-pelaku yang dapat terlibat dalam kegiatan pembalakan liar sebagaimana dijelaskan diatas, mempunyai dimensi luas dan memiliki jalinan hubungan yang sangat kuat dan rapi. Pemilik modal dan pengusaha kayu mempunyai kepentingan untuk mendapatkan lahan konsesi penebangan yang bisa didapatkan dari pejabat lokal atau bantuan oknum aparat pemerintah.
Pengusaha dapat mempengaruhi pejabat atau oknum aparat pemerintah lokal untuk melakukan kerjasama illegal dalam bentuk penebangan liar. Dalam rangka melaksanakan kegiatannya itu pengusaha mengupah tenaga kerja dari penduduk setempat atau mendatangkan dari luar daerah.
Realitasnya, pasal 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang diperbaharui dengan UU Nomer 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, ketentuan pidana pada pasal tersebut sangat susah untuk dibuktikan ketrlibatan cukong. Maka bisa dipastikan kejahatan pembalakan liar akan tetap subur pada situasi krisis sekarang ini.
Kotijah
Tulisan telah diterbitkan pada ini