Sumber daya hutan merupakan karunia Tuhan sebagai penyangga kehidupan manusia melalui fungsinya sebagai hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir, kekeringan, hilangnya keanekargama hayati, cadangan pangan, cadangan obat-obatan, hasil kayu dan non kayu dan lain-lain. Oleh karena itu sumber daya hutan merupakan obyek sekaligus subyek pembangunan yang sangat strategis.
Keluarnya UU Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 telah membuka sektor kehutanan menjadi lahan paling mudah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah dan meningkatkan PAD. Euforia otonomi daerah dalam mengembangkan potensi daerah, dengan jalan pintas mendapatkan uang yakni membuat kebijakan mengeluarkan izin KP (kuasa pertambangan).
Kabupaten Kutai Kertanegara Kaltim selama 6 tahun setelah diberlakukan UU Nomor 22 Tahun 1999 telah mengeluarkan izin hampir 190 lebih izin KP. Betapa mudahnya hutan kita diobral dan dibisniskan oleh birokrat-birokatrat daerah. Memang pada sisi lain kebijakan itu juga menghasilkan pajak sangat besar. Kita masih ingat Kutai Kertanegara telah menjadi kabupaten yang mempunyai PAD tertinggi di Indonesia karena didukung sektor kehutanan dan pertambangan.
Kajian filosofinya, versi pemerintah, kegiatan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan yang saat ini dilakukan, belum sepenuhnya memberikan penghargaan terhadap nilai manfaat hutan yang hilang. Nilai ekonomi manfaat hutan itu antara lain kompesasinya, dimana hutan itui lahan sulit memperoleh gantinya. Oleh karenanya diperlukan kompensasi .
Maka atas dasar UU Nomor 20 Tahun 2007 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, pemerintah minta kompensasi dipergunakannya lahan hutan untuk pertambangan dengan keluarnya PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan yang berlaku pada depertemen kehutanan. Dari lampiran Jenis PNBP (peneriman negara bukan pajak) PP tersebut, dijelaskan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk tambang terbuka yang bergerak secara horizontal (tambang terbuka horizontal).
Hutan lindung bisa dimanfaatkan, namun hanya untuk hal-hal tertentu, seperti dimuat dalam pasal 26 (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan, yakni pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Kemudian dalam pasal 23 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan disebutkan bahwa pemanfaatan hutan pada hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dapat dilakukan melalui kegiatan pemanfataan kawasan, pemanfataan jasa lingkungan, atau pemanfataan hasil hutan bukan kayu.
Kegiatan yang bisa dilakukan di hutan lindung berdasarkan pasal di atas dapat berupa usaha antara lain budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkapan satwa liar, rehabilitasi satwa, atau budidaya hijauan makanan ternak.
Keluarnya UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 sebagai perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menjadi hal penting dalam pengembangan kegiatan pertambangan versus kelestarian lingkungan hidup adalah tumpang tindih, sekaligus menimbulkan konflik penggunaan lahan, terutama dengan kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung yang dilarang.
Sekarang dengan PP Nomor 2 Tahun 2008, pemerintah berupaya melelang hutan lindung kita dengan harga yang sangat murah bagi korporasi tambang atas dalih investasi. Pemerintah tidak belajar dari kesalahan mengenai bencana yang silih berganti akibat hutan kita yang habis dibabat. UU Nomor 19 Tahun 2004 dan PP Nomor 2 Tahun 2008 telah melegalkan hutan lindung dihancurkan untuk pertambangan dan diamini Mahkamah Konsitusi dengan Putusan No.003/PUU-III 2005.
Sejuta harapan kita waktu itu, saat 82 perwakilan individu dan 15 LSM mengajukan yuridicial review terhadap UU Nomor 19 Tahun 2004 kepada Mahmakah Konsitusi agar hutan kita terselamatkan dari kehancuran. Hanya MK harapan terakhir kita untuk melindungi, menjaga dan tidak terjamah korporasi tambang. Karena hutan merupakan karunia yang diwariskan pada anak-cucu kita .
Kotijah
Tulisan sudah diterbitkan pada ini
Tentang Saya

Dr. Siti Kotijah, S.H, M.H.
Lecturer in Mulawarman University,
Law Faculty
Komisi Pengawas Reklamasi dan Pasca Tambang Kalimantan Timur