Menurut Indriyanto Seno Adji yang mengutip dari W Konijnenbelt, menyatakan bahwa untuk mengukur penyalagunaan wewenang dengan menggunakan parameter sebagai berikut:
- unsur menyalagunakan wewenang dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan paremeternya bersifat alternatif;
- asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan. Ini diterapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun asas kepatutan, sedangkan peraturan dasar (tertulis) ini nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang sifatnya mendesak.
Seperti yang sudah saya jelaskan pada tulisan sebelumnya, banyak terdakwa kasus pembalakan liar pada proses peradilan sering bisa lolos dari jeretan bahkan bebas, kerena sulit membuktikan pasal-pasal dalam undang-undang kehutanan, misalnya pada pasal 28, 50, 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang.
Hal itu membuktikan bahwa kasus pembalakan liar identik dengan masalah izin. Kegiatan penebangan yang dilakukan para pembalakan liar tidak mengarah ke pidana. Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam konteks kejahatan pembalakan liar beranjak dari pola pemikiran tentang konsep perizinan. Dalam sistem pengelolaan hutan, terdapat fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap hutan yang juga mengandung fungsi kelastarian hutan. Dengan maksud agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian unsur lingkungan, sosial, budaya, dan ekologi.
Dengan demikian pembalakan liar merupakan kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan. Baik yang tidak memiliki izin secara resmi maupun yang tanpa ijin, mengakibatkan kerusakan hutan atau ada izinnya, tapi terdapat cacat yuridis. Dalam hal ini ada cacat prosudur atas izin, contoh over catting atau penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki.
Agar pelaksanaan pengurusan hutan dalam hal ini izin yang dikeluarkan dapat sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam upaya melindungi hutan, maka perlu sinkronisasi perizinan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang selama ini menjadi kendala dan ajang saling menyalahkan dalam lingkup birokrat.
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, telah menegaskan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah untuk urusan di bidang kehutanan. Dengan demikian pemahaman atas kewenangan yang dipunyai antara pusat dan daerah dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Dalam praktek peradilan sering dipertukarkan atau dicampuradukan antara penyalagunaan wewenang dengan cacat peosedur yang seolah-olah cacat prosedur itu in hearen dengan penyalagunaan wewenang. Realitanya, penyalagunaan wewenang membawa implikasi yang lebih luas dibandingkan dengan cacat prosedur. Yaitu disamping berakibat pada pencabutan ketetapan (beschiking) bisa berimplikasi pidana jika penyalagunaan wewenang menimbulkan kerugian negara.
Penyalagunaan wewenang atau cacat peosedur yang sering terjadi dalam kasus pembalakan liar, karena pada tataran pengawasan di bidang kehutanan tidak memadai. Penyebabnya adalah keterbatasan sarana dan prasarana serta tenaga. Hal ini merupakan alasan klasik para birokrat kita.
Pengawasan pembangunan kehutanan secara efektif baik secara langsung maupun tidak langsung, agar semua komponen masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan. Perlu adanya pengawasan yang ketat, sinkronisasi dan kerjasama yang baik antar instansi, maupun antara pusat dan daerah.
by kotijah