Menggugat Hak Rakyat Atas Lingkungan

Bencana lingkungan telah tertoreh pada segmen goegrafis Indonesia selama hampir sepuluh (10) tahun terakhir, banyak wilayah di kabupaten/kota Indoesia. Tidak terkecuali di Kalimantan Timur mengalami beraneka rupa problematika lingkungan yang mendukacitakan semua lapisan masyarakat berupa ancaman pencemaran air dan kerusakan hutan. Kondisi ini patut diduga tercemar yang merupakan sinyaleman betapa rusaknya ekosistem kehidupan rakyat.

Krisis ekologis yang melanda negeri ini, seyogyanya menyadarkan semua pihak akan terjadinya macam-macam penyakit yang menggerogiti kehidupan setiap anak bangsa ini, pencemaran air, udara, tanah, dan kerusakan bentangan alam tanpa tersentuh oleh aparat hukum. Naifnya, lingkungan yang dibidik belum menjadi perhitungan utama dalam arus perpolitikan kita. Bahkan pada level pemilih, kesadaran publik akan pemimpin yang perhatian terhadap lingkungan tidak masuk dalam alasan untuk memilih peminpin dan wakil rakyat. Hal ini dapat dilihat pada hasil pemilu legislatif 5 april 2004 yang dimenangkan dua konsestan “politik antik” yang tidak mempunyai platform lingkungan.

Kelestarian fungsi lingkungan telah dipertaruhkan dalam lembaga legislatif kita yang terhormat dengan “menghalalkan segala cara”. Kita tidak pernah belajar dari kabinet gotonng royong yang pernah berkuasa dan mengabaikan kepentingan lingkungan.

Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-udang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah membuat esensi lingkungan hukum dalam bingkai kelestarian hutan tidak bermakna pada UU Nomor 41 Tahun 1999. Semakin terpuruklah lingkungan kita dengan pungutan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menjadi UU Nonor 19 Tahun 2004 tentang. Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang. Dan parahnyam, yudicial review terhadap UU Nomor 1 Tahun 2004 diamini oleh MK.

Perpu Nomor 1 Tahun 2004 dan dinaikkan statusnya menjadi UU Nomor 19 Tahun 2004, telah mengebiri pasal 38 UU ayat Nomor 41 Tahun 1999, yang pada intinya di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pertambangan terbuka. Boleh dilakukan pertambangan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan khusus dan secara selektif. Dengan demikian Pemerintah, DPR, Mahkamah Konsitusi saat itu telah lalai lingkungan.

Saya membayangkan suatu saat generasi yang akan datang lahir hanya mewarisi hutan yang telah jadi ilalang dan hanya berupa kubangan sumur-sumur besar bekas pertambangan. Mereka hanya menikmati bencana baik berupa banjir yang tidak surut-surut, tanah longsor, suhu bumi yang semakin panas, air yang tecemar dan bermacam-macam penyakit.

Kepada siapa mereka menggugat atas bencana ini? Pemerintah, DPR, MK atau Tuhan yang menghadirkan mereka kedunia?. Yang pasti jawabannya ada pada lirik lagu Ebit G Ade “tanyakan pada rumput bergoyang”. Membayangkan saja saya bergidik, benar-benar mengerikan bencana ekologi .

Sebenarnya bencana bukan takdir, tetapi dibuat manusia itu sendiri, yakni oleh pimpinan negeri yang tidak peka lingkungan, Anggota dewan yang terhormat hanya berpikir sesaat dan menggoalkan UU Nomor 19 Tahun 2004, atau MK yang lalai akan nasib kami yang hidup di pelosok hutan .

Jangan berpikir negeri ini akan berubah terhadap pengelolaan lingkungan yang baik atau mengakui hak atas lingkungan yang baik. Setiap hari kita disuguhi berita penjarahan hutan atau pembalakan liar. Bisa kita bayangkan bahwa negeri yang kaya sumber daya alam ini mengalami kerugian hampir 40 triliun akibat kerusakan hutan yang diakibatkan desfortasi hutan hampir 3,5-2,8 juta Ha. Banggakah kita masuk Geinness of Record sebagai, negeri penghancur hutan terbesar di dunia? Kita prihatin punya pejabat yang tidak bisa belajar dari bencana kerusakan hutan. Bisakah kita menggugat negeri ini dan minta hutanku tetap bisa hijau dan lestari.

Dalam perspektif teoritis dan yuridis, lingkungan mempunyai hak (environmental right) untuk mendapatkan perlindungan hukum. Bagi rakyat, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan constitutional right berdasarkan pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Apabila negara tidak lagi mampu mengelola kualitas lingkungan yang baik dan sehat, berarti negara telah gagal menjalankan fungsinya. Pinjam kata-kata pakar hokum lingkungan Suparto Wijoyo bahwa negara telah melakukan “dosa konstitusional: pemenuhan hak rakyat atas lingkungan hidup yan baik dan sehat menjadi tanggungjawab hukum, dan pemerintah sebagai pengelola lingkungan atas dasar pasal 8 -13 UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kotijah
Tulisan telah diterbitkan pada ini
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.