Mengelola dan menfaatkan sumber daya alam tidak hanya dalam proses mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber sampai habis untuk digali. Tetapi juga menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya agar semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari usahanya. Melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya. Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR).
Pemahaman terhadap CSR itu akan memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Lantas mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja. Mereka wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.
Desakan dibentuknya CSR berawal pada organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah karena perilaku korporasi yang hanya demi maksimalisasi laba. Mereka mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis. Dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.
Hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio pada 1992, telah menyepakati perubahan sebuah paradigma pembangunan. Dari sebuah paradigma yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berlanjutan (sustainibility development). Konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan. Tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita.
Tekanan KTT Rio terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata.
Adapun lima elemen konsep keberlanjutan yang penting, diantaranya adalah ketersediaan dana, misi lingkungan, tanggung jawab sosial, terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), mempunyai nilai keuntungan/manfaat.Sedangkan sasaran utama dari pembangunan berlanjutan adalah upayanya dalam meningkan tarap hidup manusia, sehingga kemiskinan dapat ditekan. Kemiskinan tidak hanya akan mengurangi akses masyarakat untuk mendapatkan sumber-sumber penghidupannya. Namun kemiskinan juga akan meningkatkan kerawanan sosial karena ia akan selalu memunculkan rasa ketidakpuasan dan kecurigaan antar pihak.
Pemahaman terhadap CSR itu akan memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Lantas mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja. Mereka wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.
Desakan dibentuknya CSR berawal pada organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringannya di tingkat global. Keprihatinan utama yang disuarakan adalah karena perilaku korporasi yang hanya demi maksimalisasi laba. Mereka mempraktekkan cara-cara yang tidak fair dan tidak etis. Dan dalam banyak kasus bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi.
Hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio pada 1992, telah menyepakati perubahan sebuah paradigma pembangunan. Dari sebuah paradigma yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berlanjutan (sustainibility development). Konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan) sebagai hal yang mesti diperhatikan. Tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita.
Tekanan KTT Rio terasa bermakna sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya mencetak keuntungan semata.
Adapun lima elemen konsep keberlanjutan yang penting, diantaranya adalah ketersediaan dana, misi lingkungan, tanggung jawab sosial, terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah), mempunyai nilai keuntungan/manfaat.Sedangkan sasaran utama dari pembangunan berlanjutan adalah upayanya dalam meningkan tarap hidup manusia, sehingga kemiskinan dapat ditekan. Kemiskinan tidak hanya akan mengurangi akses masyarakat untuk mendapatkan sumber-sumber penghidupannya. Namun kemiskinan juga akan meningkatkan kerawanan sosial karena ia akan selalu memunculkan rasa ketidakpuasan dan kecurigaan antar pihak.
Kemudian Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 memunculkan konsep sosial responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan environment sustainability. Keberlanjutan dapat didefinisikan sebagai kapasitas penampung dari ekosistem untuk mengasimilasi pemborosan agar tidak sampai berlebihan. Dan rata-rata hasil dari sumber daya yang terbarui tidak akan berlebihan pada rata-rata generasi (Word Bank, 2003). Artinya, suatu usaha dari bekerjanya ekosistem untuk mengefisienkan pemborosan terhadap pemafaatan sumber daya yang tersedia, dan pemanfaatan tersebut akan disesuaikan dengan kemampuan pada setiap generasi.
Kriteria dari konsep keberlanjutan mengacu pada JR Hick (1939) tentang pendapatan rata-rata maksimun dari komuniti dapat mengkomsumsi lebih dari satu periode waktu dan masih dapat menyisahkan pada akhir waktu seperti pada saat mulai. Keberlanjutan dalam bentuk dimensi yang merupakan bagian keberlanjutan itu sendiri yaitu manusia (human), social (social), lingkungan (environment), dan ekonomi (economic).
Prinsip-prinsip berlanjutan dan wawasan lingkungan untuk menjaga ketersediaan dan manfaat SDA yang ada, diakomedasi pada pasal 3 angka (1) guruf (g) UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Bunyinya, penanaman modal diselenggaralan berdasarkan asas berkelanjutan. Dalam penjelasannya yang dimaksud “asas berkelanjutan” adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan baik untuk masa kini maupun yang akan datang.
Selanjutnya penjelasan huruf (h) yang dimaksud dengan asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup. Dengan demikian apa yang termuat dalam UU Nomor 5 Tahun 2007, telah memberi suatu aturan yang tegas tentang prinsip-prinsip lingkungan yang baik kaitannya dengan pengelolaan SDA dan investasi.
Di tiga UU yang mengatur sumber daya alam, konsep berlanjutan juga diatur yakni pada pasal 3 guruf (g) UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, pasal 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004, Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU dan pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Sementara itu di UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengenai konsep berbelanjutan ditegaskan dalam pasal 3 bahwa pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara , asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ke depan konsep berlanjutan yang sudah diatur di beberapa UU. Perlu didorong kerjasama semua pihak dan kesadaran ketersediaan sumber daya alam yang semakin lama makin habis. Supaya lingkungan tetap terjaga, bukan bencana yang kita dapat .
Kotijah
Tulisan telah diterbitkan pada ini