Perkembangan hukum pidana Indonesia dipengaruhi oleh masyarakat dengan percepatan dapat akses informasi dan teknologi yang pada akhirnya menimbulkan bentuk kejahatan baru. Sementara itu Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP) tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan hukum khususnya yang menyangkut perkembangan tindak pidana illegal logging (pembalakan liar).
Kawasan hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting dengan tetap mengutamakan kepentinganan nasional. Untuk itu hutan harus dikelola secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarkat.
Tindak pidana illegal logging di Indonesia sudah mengakibatkan kerugian trilyunan rupiah, kerusakan hutan, bencana lingkungan dan ekologi. Bencana ini tidak hanya mengacam Indonesia, tetapi juga dunia internasional, sebab hutan kita merupakan paru-paru dunia. Jika hutan hancur maka akan mempercepat bencana pemanasan global sebagai akibat dari pencairan es di kutub utara.
Karenanya pemberantasan tindak pidana ilegal logging harus menyangkup semua aspek. Dalam aspek hukum pidana yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kelemahan-kelemahan dan kendala dalam pelaksanannya dan menjadi faktor yang penting dalam penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan illegal logging. Kelemahan-kelemahan itu ada beberapa faktor.
Pertama, obyek penegakan hukum masih sulit ditembus oleh aturan hukum. Obyek yang dimaksud adalah apabila pelaku yang terlibat kejahatan illegal logging yakni pelaku intelektual, terutama cokong kayu, oknum pejabat, aparat hukum, pegawai negeri tidak diatur secara khusus dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
Kedua, subyek atau pelaku tindak pidana illegal logging. Yakni subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana kehutanan hanya efektif diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan illegal logging atau pengusaha yang melakukan traksasi kayu secara ilegal. Hal ini hanya dapat menyerat pelaku semisal: penebang kayu, sopir truck, aknum petugas kehutanan, pegawai rendahan pada level birokrasi, aknum aparat.
Ketiga, proses penyitaan dalam hal ini berupa barang bukti kayu. Konsep penanganannya meliputi prosedur, metode, keahlian dalam pengukuran dan waktunya cukup lama. Sementara itu UU Kehutanan tidak mengatur mekanisme penyitaan barang bukti kayu secara khusus.
Kempat, kendala pembuktian. Proses pembuktian terhadap tindak pidana illegal logging masih mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1981. Dalam konteks ini merupakan tindak pidana biasa, sehingga sulit untuk menjerat pelaku yang berada dibelakang kasus tersebut. Hal ini bisa terjadi karena fungsi sanksi pidana dalam kepidanaan hukum lingkungan termasuk kehutanan telah berubah dari ultimum remedium menjadi instrumen penegakan hukum yang bersifat premum remedium (Rangkuti, 2000 : 323-324).
Kelima, ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit. UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak meliputi tindak pidana korporasi, tindak pidana penyertaan dan tindak pidana pembiaran (omission) (ICEL, 12-5-2004b : 4). UU tersebut tidak mengatur tindak pidana penebangan di luar wilayah konsensi (over cutting) atau yang melanggar Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Ketujuh, sanksi pidana pasal 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 1 Tahun 2004 yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan dengan ketentuan pidana lain, ternyata tidak memberi efek jera kepada pelaku illegal logging. Hal ini karena UU Kehutanan yang lebih ditekankan pada sanksi administrasi dan perdata, setelah itu baru sanksi pidana diterapkan.
Kedelapan, lemahnya koordinasi antar penegak hokum. Sistem penegakan hukum tidak terstruktur dalam suatu sistem yang terkoordinasi serta tanpa otoritas merupakan kendala dalam penanggulangan ilegal logging. Kondisi itu tetap berlanjut meski sekarang sudah dikeluarkan Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Indonesia.
Kesembilan, berkaitan dengan ganti kerugian ekologi terhadap lingkungan. Tindak pidana illegal logging adalah tindak pidana yang mempunyai dampak atas kerugian ekologi (lingkungan), sehingga perlu rumusan pasal tentang perhitungan kerugian secara ekologis. Ternyata hal ini tidak diatur dalam UU Kehutanan (ICEL 12-5-2004 : 6).
Sisi kelemahan UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana illegal logging antara lain:
Bahwa illegal logging adalah satu kejahatan pidana khusus (pidsus). Maka sudah sepantasnya proses penanganan dan pemeriksaan dilakukan dengan perlakuan khusus. Langkah yang terbaru seharusnya merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petujuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan.
Sebelum ini telah dilakukan pihak kejaksaan dengan adanya Surat Edaran (SE) Jaksa Agung RI Nomor SE-0023.A.104/1995 tanggal 28 April 1995 dan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Nomor B-08/E/EJP/05/2001 yang pada pokoknya mendukung upaya pemberantasan illegal logging karena termasuk perkara penting.
Kawasan hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting dengan tetap mengutamakan kepentinganan nasional. Untuk itu hutan harus dikelola secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarkat.
Tindak pidana illegal logging di Indonesia sudah mengakibatkan kerugian trilyunan rupiah, kerusakan hutan, bencana lingkungan dan ekologi. Bencana ini tidak hanya mengacam Indonesia, tetapi juga dunia internasional, sebab hutan kita merupakan paru-paru dunia. Jika hutan hancur maka akan mempercepat bencana pemanasan global sebagai akibat dari pencairan es di kutub utara.
Karenanya pemberantasan tindak pidana ilegal logging harus menyangkup semua aspek. Dalam aspek hukum pidana yang perlu dilakukan adalah memperbaiki kelemahan-kelemahan dan kendala dalam pelaksanannya dan menjadi faktor yang penting dalam penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan illegal logging. Kelemahan-kelemahan itu ada beberapa faktor.
Pertama, obyek penegakan hukum masih sulit ditembus oleh aturan hukum. Obyek yang dimaksud adalah apabila pelaku yang terlibat kejahatan illegal logging yakni pelaku intelektual, terutama cokong kayu, oknum pejabat, aparat hukum, pegawai negeri tidak diatur secara khusus dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.
Kedua, subyek atau pelaku tindak pidana illegal logging. Yakni subyek atau pelaku yang diatur dalam ketentuan pidana kehutanan hanya efektif diterapkan kepada pelaku yang secara langsung melakukan illegal logging atau pengusaha yang melakukan traksasi kayu secara ilegal. Hal ini hanya dapat menyerat pelaku semisal: penebang kayu, sopir truck, aknum petugas kehutanan, pegawai rendahan pada level birokrasi, aknum aparat.
Ketiga, proses penyitaan dalam hal ini berupa barang bukti kayu. Konsep penanganannya meliputi prosedur, metode, keahlian dalam pengukuran dan waktunya cukup lama. Sementara itu UU Kehutanan tidak mengatur mekanisme penyitaan barang bukti kayu secara khusus.
Kempat, kendala pembuktian. Proses pembuktian terhadap tindak pidana illegal logging masih mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 1981. Dalam konteks ini merupakan tindak pidana biasa, sehingga sulit untuk menjerat pelaku yang berada dibelakang kasus tersebut. Hal ini bisa terjadi karena fungsi sanksi pidana dalam kepidanaan hukum lingkungan termasuk kehutanan telah berubah dari ultimum remedium menjadi instrumen penegakan hukum yang bersifat premum remedium (Rangkuti, 2000 : 323-324).
Kelima, ruang lingkup tindak pidana yang masih sempit. UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tidak meliputi tindak pidana korporasi, tindak pidana penyertaan dan tindak pidana pembiaran (omission) (ICEL, 12-5-2004b : 4). UU tersebut tidak mengatur tindak pidana penebangan di luar wilayah konsensi (over cutting) atau yang melanggar Rencana Kerja Tahunan (RKT).
Ketujuh, sanksi pidana pasal 78 UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 1 Tahun 2004 yang memiliki sanksi pidana denda yang paling berat dibandingkan dengan ketentuan pidana lain, ternyata tidak memberi efek jera kepada pelaku illegal logging. Hal ini karena UU Kehutanan yang lebih ditekankan pada sanksi administrasi dan perdata, setelah itu baru sanksi pidana diterapkan.
Kedelapan, lemahnya koordinasi antar penegak hokum. Sistem penegakan hukum tidak terstruktur dalam suatu sistem yang terkoordinasi serta tanpa otoritas merupakan kendala dalam penanggulangan ilegal logging. Kondisi itu tetap berlanjut meski sekarang sudah dikeluarkan Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Indonesia.
Kesembilan, berkaitan dengan ganti kerugian ekologi terhadap lingkungan. Tindak pidana illegal logging adalah tindak pidana yang mempunyai dampak atas kerugian ekologi (lingkungan), sehingga perlu rumusan pasal tentang perhitungan kerugian secara ekologis. Ternyata hal ini tidak diatur dalam UU Kehutanan (ICEL 12-5-2004 : 6).
Sisi kelemahan UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 dalam pencegahan dan penindakan tindak pidana illegal logging antara lain:
Bahwa illegal logging adalah satu kejahatan pidana khusus (pidsus). Maka sudah sepantasnya proses penanganan dan pemeriksaan dilakukan dengan perlakuan khusus. Langkah yang terbaru seharusnya merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2008 tentang Petujuk Penanganan Perkara Tindak Pidana Kehutanan.
Sebelum ini telah dilakukan pihak kejaksaan dengan adanya Surat Edaran (SE) Jaksa Agung RI Nomor SE-0023.A.104/1995 tanggal 28 April 1995 dan Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Nomor B-08/E/EJP/05/2001 yang pada pokoknya mendukung upaya pemberantasan illegal logging karena termasuk perkara penting.
Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Indonesia.
Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu. Pengembangan kapasitas aparat penegak hukum dalam hal ini PPNS, kepolisian, kebijaksanaan dan kehakiman. Salah satunya adalah meningkatkan dan mengembangkan pelatihan yang selama ini telah dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Kementerian Lingkungan Hidup di bidang Penegak Hukum Lingkungan. dengan menguji alumni pelatihan tersebut dalam memeriksa, menangani dan memutuskan kasus-kasus lingkungan hidup khususnya illegal logging.
Mengingat tindak pidana illegal logging merupakan kejahatan yang luar biasa, maka perlu percepatan pemberantasan dengan cara-cara luar biasa pula. Butuh peradilan ad hoc untuk menangani kasus tersebut.
Kotijah
Tulisan telah diterbitkan pada Ini