Krisis lingkungan global yang berlangsung sejak tiga warsa terakhir ini merupakan konsekuensi dari penggunaan pola kegiatan yang semata-mata untuk meraih keuntungan ekonomis. Terjadinya kerusakan hutan tropis di Indonesia, bersumber dari paradigma penguasaan hak pengelolaan yang berorientasi mengejar keuntungan ekonomis itu.
Sebenarnya, faktor keuntungan ekonomis itu merupakan salah satu dari fungsi hutan. Namun tidak oleh ada saling mengorbankan antar fungsi yang seharusnya dilaksanakan secara seimbang tersebut. Adapun fungsi hutan pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi), serta fungsi sosial.
Pemanfaatan sumber daya hutan di Indonesia secara legal didasarkan atas kesadaran bangsa seperti yang tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang meliputi:
· Pasal 33 UUD 1945.
· UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria.
· UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
· UU Nomor 6 Tahun 1994 tentang Perubahan Iklim.
· UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
· UU Nomor 41 Tahun 1999 Jo UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan.
· UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
· Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulan Bencana.
· UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
· UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
· PP Nomor 7 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Dari sisi kepentingan global, pengelolaan hutan Indonesia terikat dengan berbagai komitmen internasional yang meliputi: KTT Bumi (UNCED) Tahun 1990 yang tertuang dalam Deklarsi Rio, Agenda 21, ITTO Tahun 1990 tentang Pengelolaan Hutan Lestari, Kyoto Protokol Tahun 2000, LoI antara Pemerintah Indonesia dengan IMF Tahun 2000 khususnya menyangkut komitmen pemerintah di bidang kehutanan.
Akibat kebijakan dengan sistem konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 1967, hutan mengalami kerusakan. Juga masyarakat sekitar hutan yang kehilangan hak adat mereka atas sumber daya lokal dan hak kelola yang menopang kehidupannya.
Menurut hemat saya, masyarakat sekitar hutan semakin tidak berdaya dengan konsep desa yang mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Unndang-undang ini mencoba melembagakan sebuah struktur birokrasi yang seragam di seluruh Indonesia. Dan menetapkan kendali yang lebih besar atas pemerintahan desa, sehingga mengalahkan peran kepala suku, kepala adat, kepala kampung.
Dari kajian ELSAM dan ICEL 2002, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 telah mengakibatkan 3 (tiga) hal yang mendasar pada masyarakat adat :
· Hapusnya hak desa untuk memilih pemimpin, dengan demikian mengikis bentuk otoritas tradisional serta mengubah ciri-ciri yang harus menyertai seorang pemimpin;
· Sentralisasi wewang pada, keapla desa, yanng tidak diimbangi oleh Lembaga Masyarkat desa (LMD) ataupun partisipasi populer melalui institusi asli (indigenous) dan;
· Kikisnya lembaga-lembaga desa yang ada dan digantikan dengan sebuah lembaga yanng tidak mampu menyelesaikan sengketa dan dalam beberapa hak bahkan meningkatkan sengeketa.
Sedangkan dalam penegakan hukum dalam pandangan Sudikno ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan di dalamnya. Yakni kepastian hukum (Rechssicherheit), kemanfaatan (sweckmassigkeit ) dan keadilan (Gerechtigkeit). Sudikno juga mengatakan bahwa walau pun dalam penegakan hukum harus adil, namun hukum tidak indentik dengan keadilan. Artinya jika dalam penegakan hukum hanya diperhatikan masalah kepastian hukum, maka keadilan akan dikorbankan. Dan sebaliknya jika keadilan yang diperhatikan, maka kepastian hukum yang terkorbankan.
Peraturan perundang-undangan pada bidang kehutanan, lebih berorintasi pada eksploitasi sumber daya hutan tanpa memperhatikan dampak yang timbulkan yang berupa kerusakan hutan, longsong, banjir dan pencemaran. Sementara ini belum ada kesadaran mengenai pentingnya nilai strategis dari pengelolaaan hutan berkelanjutan, terpadu dan berbasis pada masyarakat sekitarnya. Akibatnya tidak ada penghargaan terhadap hak masyarkat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Padahal essensi keadilan bagi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan itu telah ada sejak dulu. Misalnya yang dianut masyarakat sekitar hutan di pedalaman Suku Dayak di Kutai Barat Kalimantan Timur. Terbukti sejak dulu nilai-nilai lokal, budaya dan kearifan yang dianut lingkungan masyarakat lokal ternyata mampu menciptakan keadilan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan.
Sudah waktunya ada perbaikan sikap dan kebijakan pemerintah untuk mengembalikan kondisi terciptanya keadilan dalam hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Sehingga kebijakan pemerintah dalam penerapan nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya hutan dapat memberi makna keadilan.
Kotijah
Tulisan ini sudah pernah diterbitkan pada blog ini