Hilangnya Megadiversity

Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus disadari sebagai suatu yang penting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewan, alam nabati maupun berupa fenomena alam. Semua itu mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan. Dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, sehingga disebut sebagai negara “megadiversity”.

Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki spesies satwa yang tertinggi, yakni sekitar 12% (515 species, 39% diantaranya species endemik) dari total spesies binatang menyusui, urutan kedua di dunia; 7,3% (511 spesies, 150 species diantaranya endemik) dari total spesies reptilian urutan keempat di dunia; 17% (1531 spesies, 397spesies diantaranya endemik) dari total spesies burung didunia urutan kelima; 270 spesies amfibi, 100 spesies diantaranya endemik urutan keenam di dunia; dan 2827 spesies binatang tidak bertulang selain ikan tawar.

Kemudian Indonesia juga memiliki 35 spesies primate (urutan keempat), 18% diantaranya spesies endemik) dan 121 spesies kupu-kupu 144% endemik, (Referensi Peraturan perundang-undangan Penanganan Kasus Peredearan illegal tumbuhan dan satwa liar ; 2005)
Dalam hal keanekaregaman tumbuhan, Indonesia juga menduduki peringkat lima dunia didunia. Yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, 55% diantaranya spesies endemik, keanekaragaman palem menempati urutan pertama , mencapai 477 spesies, 225 endemik’ lebih dari setengah dari seluruh spesies (350) pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting (dari famili dipterocarpaceae) terdapat dinegara ini, 155 diantaranya endemik di Kalimantan (Dephut 1994;Newman 1999).

Harus diakui bahwa saat ini berbagai jenis keanekaragaman hayati, terutama tumbuhan dan satwa yang ada dalam ancaman kepunahan. Ancaman terhadap habitat berbagai jenis tumbuhan dan satwa, antara lain adalah hilangnya dan rusaknya habitat yang disebabkan oleh konversi hutan alam untuk dijadikan kawasan budi daya, pembalakan haram ( illegal logging), perambahan, kebakaran hutan dan pertambangan.

Sebagai pembentuk lingkungan hidup, sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam kehadirannya tidak dapat digantikan, mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan yang penting bagi kehidupan manusia. Maka upaya konservasi menjadi hal wajib dari tiap generasi.

Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengatakan bahwa sumber daya alam hayati adalah ”sumber unsur hayati di alam yang terdiri sumber daya alam habitat (tumbuhan) dan sumber daya alam hewan (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.

Pasal 1 ayat (4) ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik antara unsur dalam alam, baik hayati maupun non hayati yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Dapat dikatakan bahwa sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat dimanfaatkan dan diperuntukan bagi kehidupan manusia dalam sistem saling tergantung dan saling mempengaruhi, sehingga kelestarian akan konservasi alam terjaga sebagai upaya menjaga kesimbangan daya alam hayati.

Untuk menjaga keseimbangan, dalam pasal 5 konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya, melalui kegiatan antara lain:
perlindungan sistem penyangga kehidupan;
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
pemanfaatan secara lestari sumber daya hayati dan ekosistemnya.

Di sisi lain pengaturan sumber daya hayati dan ekosistemnya, juga diatur dalam :
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan.
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2002 tentang Karentina Ikan.
Keputusan Menteri kehutanan Nomor 104/kpts-II/2003 tentang Penunjukan Direktur Jenderal Perlindungan hutan dan Konservasi Alam Selaku Pelaksana Otoritas Pengelola (management autrority) CITIS di Indonesia.
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 447/kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar.

Begitu banyak aturan pelaksanaan dari UU Nomor 5 Tahun 1990, namun tidak bisa memberi perlindungan yang memadai dalam penegakan hukum kita. Setiap tahun satwa tumbuhan dan hewan dicuri, diselundupkan, dijual keluar negeri, tapi hukuman terhadap pelakunya hanya sedikit, bahkan dibebaskan. Kita hanya bisa menunggu satwa dan tumbuhan kita hilang dan akhirnya punah tinggal sejarah. Ke depan perlu segera diganti UU Nomor 5 Tahun 1990 untuk mengatasi hilangnya megadiversity yang kita punya.
Kotijah
Tulisan telah diterbitkan pada ini
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.