A . Pengakuan Atas Hak-hak Masyarakat Adat oleh negara
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) diwilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai , ideologis, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (keputusan Kongres AMAN No.1/KMAN/1999)
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, membawa era Otonomi daerah yang memberikan peluang dibidang kehutanan dalam mendekatkan sistem pengelolaaan sumber daya hutan itu kepada masyarakat kepada daerah atau masyarakat adat. Hal ini merupakan implementasi dari konsep Community Based Forest Management (CBFM) yaitu pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat sebagai salah satu konsep pengelolaan hutan global.
Pengakuan eksistensi keberagaman adat di Indonesia dijabarkan dalam pasal 18 B ayat 2 Amendemen Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “ Negara mengakui dan menghormati rakyat adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang . Di sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun 2001 telah menetapkan Tap No.IX /MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam pasal 4 menetapkan prinsip “ melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat” dan “mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam “.
Pengakuan Hak adat telah dijabarkan dalam pasal 5 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang dirumuskan “ dengan mengingat ketentuan pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataanya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas kesatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.
Pasal 4 ayat 3 Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 jo Undang-undang No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, merumuskan bahwa “ Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang masih ada diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.
B.Hak Menguasai Negara (HMN) Dan Pengakuan Hak Sekitar Masyarkat Adat
Hak Menguasai Negara (HMN) yaitu suatu hak yang dipunyai negara secara mutlak dalam menguasai sesuatu. Dalam kontek sumber daya alam, Hak Menguasai Negara (HMN) yang dimaksud adalah hak negara untuk menguasai bumi, air dan ruang angkasa sebagaimana termaktum Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” .
Hak tersebut dijadikan alat untuk melegalisasi kekuasaan pemerintah terhadap sumber daya alam yang berlebihan terutama untuk mendukung kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Di sisi lain pemerintah tidak mengakui pentingnya perlindungan fungsi dan daya dukung ekosistem sumber daya alam . Kewenangan negara terhadap sumber daya alam itu dinyatakan dalam pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang meliputi:
- Mengatur dan menyelenggarkan peruntukan, penggunaan, persedian dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa .
Disisi lain Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, mengatakan bahwa “ untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan menberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Konsep Hak Menguasai Negara juga di atur dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-undang No.19 Tahun 2004 bahwa:
(1). Semua hutan yang berada didalam wilayah Repbulik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2). Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud ayat satu (1) memberi wewewang kepada Pemerintah untuk:
a.Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum, kawasan hutan dan hasil hutan;
b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan;dan
c. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
(2). Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaanya , serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Dalam kenyataanya penguasaan hutan oleh negara memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat yang banyak mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Oleh karena itu terjadi konflik kepentingan yang bersumber dari konflik kepemilikan atau hak atas hutan.
C. Hak –hak masyakat sekitar hutan dalam konsep Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004
Pengertian hutan pada pasal (1 ) ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor. 19 Tahub 2004 bahwa “ suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya dapat dipisahkan “ .
Dalam analisa hukum ada empat ( 4) unsur pengertian dari pasal tersebut (Salim , 2003: 41) yaitu;
1. Unsur lapangan yang cukup luas (minimal 1/4hetral) yang disebut tahah hutan,
2 .Unsur pohon (kayu, bambooo, palem), flora dan fauna,
3. Unsur lingkungan dan,
4.Unsur penetapan pemerintah.
Eksistensi hak masyarakat adat sekitar hutan diatur dalam Pasal 67 Undang-undang Nomor : 41 Tahun 1999 Jo Undang-undang No. 19 Tahun 2004 , bahwa;
(1). Masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :
a. Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan;
c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraanya.
(2). Pengukuan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Pemerintah Daerah.
(3). Ketentuan lebih lanjut sebagimana dimaksud pada ayat satu (1) dan ayat dua (2), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kemudian dalam penjelasannya pasal 67 ayat 1 Undang-undang No 41 jo Undang-undang Nomor 19 bahwa, Masyarakat hukum adat diakui keberadaanya jika menurut kenyataanya memenuhi unsur antara lain:
- Masyarakat masih dalam bentuk paguyupan (Rechtsgemeenschap);
- Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
- Ada wilayah hukum adat yang jelas;
- Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
- Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari
Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002 jo Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan, Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
Perubahan pertama dari Peraturan pemerintah No. 6 Tahun 2007 sebagai pelaksanaan dari pasal 22,39,66 dan 80 Undang-undang No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Kemudian perubahan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 2008, dalam rangka meningkatkan efektifitas pengelolaan hutan. Secara keseluruhan perubahan yang dilakukan dalam Peraturan Pemerintah hanya berjarak 7 (tujuh) bulan tersebut, tidak mengatur secara bagaimana pengakuan hak masyarakat sekitar hutan. Sehingga hak masyarakat adat sekitar hutan hanya sebatas hak menikmati , artinya masyarakat diberi hak untuk mengelolaan, memanfaatkan dan menikmati hutan dalam batas tidak dijual, digadaikan . Dengan demikian dalam atauran hukum , tanah (berupa hutan) itu tidak mempunyai kekuatan tetap karena tidak ada sertifikasi pemilikan . Untuk bisa mempertahan keberadaan hak masyarakat atas hutan, yang perlu dilakukan bahwa Pemerintah Daerah, khususnya bupati/wali kota harus membuat Peraturan Daerah (Perda) hak-hak masyarakat setempat yang dimiliki terlindungi secara normatif, negara yang memegang hak mengusai itu tidak mengambil hak dan masyarakat aman dari aspek hukum. Seharusnya Undang-undang kehutanan yang diyakini sebagai hukum juga bermanfaat bagi masyarakat adat sekitar hutan apabila dipenuhi unsur kemanfaatan., keadilan dan kepastian hukum .
Dalam kajian legal spirit desentralisasi di bidang kehutanan ini, pada hakekatnya merupakan upaya untuk mendekatkan sistem pengelolaan sumber daya hutan pada masyarakat daerah agar masyarakat yang bersangkutan dapat merasakan manfaat ekonomi dari eskploitasi hutan yang didaerahnya. Kearifan lokal dalam mengelola yang sejak dulu kala secara turun temurun justru diakui bahwa kondisi hutan stabil. Demikian juga pengalaman dari pengelolaan hutan yang sentralistik di masa lalu, telah memberikan pelajaran berharga bagi pemerintah yang lebih banyak berpihak pada pemilik modal yang besar dan investor-investor baik dari dalam maupun luar negeri dengan menggunkan teknologi maju justru menimbulkan kerusakan hutan yang tidak terkendali.
Konflik pengelolahan hutan yang terjadi melibatkan berbagai kepentingan dari bebagai kepentingan dari banyak pihak yang sama-sama memanfaatkan eksisitensi hutan. , konflik akibat perbedaan kepentingan dalam hal property antara hutan negara, hutan hak an hutan adat/ulayat khususnya selama hutan tersebut belum menjadi hutan privat dengan property right yang relatif stabil (fuad, 2000;2). Faktanya bahwa sebagai besar hutan di Indonesia berada pada kondisi yang resourse property right tersebut belum saling dihormati, dalam artinya belum ada kesepahamann atau kesepakatan-kesepakatan dari berbagai pihak terutama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat adat atas penghargaan terhadap hak-hak masing-masing atas hutan. Dengan kata lain hak kelola yang dimiliki masing-masing pihak belum cukup terbangun secara menyeluruh.
Secara konseptual subtansansi perundang-undangan yang berkaitan dengan bidang kehutanan, ini tidak sesuai lagi dengan tujuan awalnya, hal ini karena ketentuan yang terdapat didalamnya telah memberikan kekuasaaan yang sangat besar kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesutu yang berkaitan dengaan hutan dan hasil hutan, sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh negara lambat alut menegasikan keberadaan masyarakat adat atau masyarakat-masyarakat yang secara geografis dan sosilogis tinggal dikawasan hutan dan menikmati hutan, undang-undang ini telah menberikan kewenangan kepada masyarakat adat untuk melakukan pengelolaan terhadap kawasan hutan, tetapi hutan yang dikelola masyarakat adat tetap dalam kerangka pikir” di dalam pengertian hutan negara”.Dengan dimaksudkan hutan adat dalam pengertian hutan negara, maka kekuasaan negara atas hutan tersebut sangat besar.
Dalam banyak kasus, apabila negara memperlukan kemudian diberikan kepada pengusaha HPH, pertambangan atau perkebunan misalnya, negara dapat mengambil alih atau merampas hutan tersebut dengan dalih bahwa itu merupakan “hutan negara” dan dilaksanakan “untuk kepentingan umum” hal ini merupakan impliaksi dari tetapkan hutan adat atau hutan yang dikuasai dan dikelola masyarakat adat sebagai hutan negara. Jadi penghormatan terhadap eksistensi masyarakat adat sudah diakui oleh pemerintah sepanjang kenyataannya masyarakat adat tersebut masih ada dan diakui keberadaanya.
Kesimpulan
1. Undang-undang No.41 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 19 dan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2002 jo Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan, Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, tidak melegitimasi secara penuh hak-hak masyarakat sekitar hutan;
2. Hak atas kepemilikan ulayat yang berupa tanah hutan diakui dalam konstitusi nasional tetapi dalam penerapan peraturan pelaksaan justru tidak efektif dan merugikan masyarakat adat .
3. Kepala Daerah memegang peran yang penting dalam pengakuan Hak- hak adat sekitar hutan dengan adanya Peraturan Daerah.
By : Siti Kotijah,S.H.