Eforia Proyek Perkebunan Kelapa Sawit

Tidak dapat dipungkiri bahwa peran industri perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian Indonesia sangat strategis, para pengusaha pun mendapatkan keuntungan besar. Industri perkebunan kelapa sawit juga mampu menciptakan lapangan kerja baru. Sementara permintaan dunia terhadap minyak nabati dan berbagai produk turunan yang berasal dari minyak kelapa sawit semakin meningkat. Sekarang minyak mentah kelapa sawit (CPO) menjadi primadona di kala mencapai harga yang selangkit di pasaran dunia.

Dalam pasal 3 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, disebutkan bahwa perkebunan diselenggarakan dengan tujuan antara lain:
meningkatkan pendapatan masyarakat;
meningkatkan penerimaan negara;
meningkatkan penerimaan devisa negara;
meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing;
memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri; dan
mengoptimalkan pengeloaan sumber daya alam secara berlanjutan.

Namun, tujuan yang ingin dicapai itu hanya untuk para pengusaha. Masyarakat sekitar perkebunan kelapa sawit tetap miskin. Dari hasil studi sawit yang dilakukan oleh WALHI Riau ditemukan bahwa slogan-slogan dengan mengembangkan perkebunan sawit yang akan untung dan sejahtera tidak selamanya benar, malah membuat kemiskinan bertambah.

Hal ini dipengaruhi beberapa faktor yakni pertama, pembukaan perkebunan sawit akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani. Realitanya, pendapatan tunai petani sawit memang meningkat pada 3 - 4 bulan pertama dalam setahun. Tetapi yang pendapatan yang tidak tunai seperti padi, sayuran, ubi-ubian, jagung maupun kayu bakar. Dalam perhitungannya, petani justru mengalami penurunan pendapatan antara 40% - 60%.

Kedua, perusahaan perkebunan sawit akan membuka lapangan kerja bagi warga masyarakat setempat. Namun kenyataannya, lapangan kerja lebih terbuka bagi pendatang, misalnya, kaum transmigran. Penduduk lokal dianggap tidak terampil, terlalu banyak menuntut, dan tidak mau dibayar murah. Segelintir penduduk setempat hanya dijadikan buruh kasar yang dibayar harian.
Ketiga, kelapa sawit akan berproduksi (berbuah lebat terus-menerus) selama 25 tahun. Masa berbuahnya sawit di Kalimantan Timur, misalnya, maksimal sampai 15 tahun saja. Setelah itu, tanaman sawit akan lebih banyak tergantung dengan faktor dari luar, terutama pupuk, sementara harga pupuk terus saja meningkat.

Keempat, pemasaran buah sawit dijamin lancar dengan harga stabil. Kenyataannya, hanya perusahaan yang berhak menentukan harga tandan buah segar sawit (TBS).Walaupun harga CPO tinggi dipasaran, tetapi petani tetap tidak ikut menikmati.

Kelima, kelapa sawit yang tidak produktif lagi dapat dengan mudah diganti dengan tanaman baru. Sampai saat ini, belum ditemukan cara yang mudah, murah, dan aman, untuk peremajaan tanaman sawit. Untuk peremajaan, pohon tua harus ditebang. Tanah yang sudah padat dan mengeras mesti dicangkul dan dipupuk, lalu diistirahatkan kurang lebih 5 tahun, agar siap ditanami kembali. Artinya, diperlukan waktu 10 tahun agar lahan dapat menghasilkan kembali. Otomatis biaya peremajaan menjadi sangat mahal. Empat kali lebih mahal dibandingkan dengan membuka kebun di lahan baru. Selama menunggu sawit tersebut, apa yang dapat kita makan masyarakat?.

Rencana pembangunan 1 juta ha perkebunan besar swasta sawit yang diproyeksikan Gubernur Kalimantan Tengah juga akan diikuti Kalimantan Timur dengan rencana pembukaan wilayah perkebunan di sepanjang perbatasan dengan negara lain. Seminar, sosilalisasi dan slogan-slogan dengan sawit sejahtera dan masyarakat makmur jadi pembicaraan orang-orang pendalaman di Kalimantan.

Eforia ini juga telah didukung oleh 13 kota / kabupaten di Kaltim. Kabupaten Kutai Timur yang mengalami perkembangan pesat karena pembukaan perkebunan kelapa sawit dapat diperoleh ijin dengan cepat. Sementara DPRD Kutai Barat berencana merubah hutan primer menjadi perkebunan kelapa sawit. Eforia pembukaan perkebunan kelapa sawit juga menjadi visi dan misi balon Gubernur Kaltim kemarin atas nama kepentingan investasi.

Eforia pembukaan perkebuanan kelapa sawit tidak berpijak pada konsep konservasi, tetapi investasi yang justru merusak hutan. Secara nyata terjadi kualitas dan kuantitas luasan kawasan hutan akan semakin menyempit. Isu utama dari persoalan hutan saat ini adalah semakin menyempitnya kawasan hutan.

Bukti bahwa pembukaan kelapa sawit merusak hutan dan akan memperparah kerusakan luasan kawasan hutan adalah setiap pembukaan perkebunan kelapa sawit dipastikan sebelum melakukan pembukaan areal harus meminta Ijin Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Usaha Budidaya Perkebunan kepada Menteri Kehutanan. Artinya, areal yang akan dibuka berada dalam kawasan hutan.

Terlepas dari areal tersebut masih hutan primer atau bukan, tetapi tetap saja berakibat pada semakin berkurangnya luasan hutan dan bertambahnya kawasan rusak dan menjadi monokulture akibat sawit. Setiap pembukaan perkebunan kelapa sawit juga hampir dapat dipastikan akan meminta Ijin Pemanfaatan Kayu-IPK [biasanya untuk memperhalus bahasa disebut dengan limbah], dengan demikian maka jelas bahwa ada kayu / log yang akan dibabat. Kalau tidak kenapa harus meminta IPK?

Jadi pendapat selama ini bahwa pembukaan perkebunan kelapa sawit tidak merusak hutan adalah pendapat keliru. Sebagai illutrasi, pembukaan sawit secara besar besaran dianggap sebagai langkah yang ramah lingkungan. Yang terjadi hutan dibabat habis dulu baru ditanami sawit. Hal ini bisa menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat akibat pencemaran dan kerusakan tanah yang berasal dari penggunaan pupuk, pestisida dan herbisida serta limbah CPO yang jumlahnya jutaan ton.

Ke depan, pembuat kebijakan baik pusat dan daerah harus mengevaluasi analisis biaya dan manfaat pembukaan perkebunan kelapa sawit. Harus turut diperhitungkan berbagai biaya lingkungan dan biaya .
Kotijah
Tulisan telah diterbitkan pada ini
Copyright 2010 - Siti Khotijah. Diberdayakan oleh Blogger.