Kebijakaan pemerintah selama ini banyak merugikan hak-hak dan sumber kehidupan masyarakat adat setempat. Hal ini karena ekstraksi kayu secara komersiil lebih dipentingkan dari pada pemanfaatan hutan oleh masyarakat lokal. Sebagai contoh, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Penguasaaan Hutan (HPH) dan Hak Pemanfaatan Hasil Hutan, jo Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Tanaman Industri.
Hak Masyarakat Lokal
Masyarakat lokal merupakan kesatuan sosial yang terdiri atas warga Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan yang membentuk kominitas, yang didasarkan pada mata pemcarian yang berkaiatan dengan hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama (Agung: 2004).
Di pasal 1 angka 34 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, terkandung pengertian masyarakat lokal adalah ”sekelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya tergantung pada sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil tertentu. Rumusan ini berbeda dengan konsep masyarakat lokal sekitar hutan yang sangat tergantung dan saling mempengaruhi dalam kehidupan sehari-hari.
Pengakuan eksistensi keberagaman adat di Indonesia telah di atur pada pasal 18 B ayat (2), pasal 28 ayat 3 Amendemen UUD 1945, pasal 4 Tap Nomor IX /MPR-RI/2001, serta pasal 3 dan pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1960. Dalam banyak kasus, masyarakat lokal sering terpinggirkan hak-haknya.
Dalam penjelasan UUPA dinyatakan apabila hak-hak masyarakat hukum adat digunakan untuk kepentingan pembangunan nasional, maka harus diberi ” recognitie” atau semacam kompensasi. Ini berarti masyarakat lokal sekitar hutan walau pun hak-hak tradisional mereka diakui oleh negara melalui peraturan perundang-undangan, namun apabila diperlukan untuk kepentingan pembangunan harus diserahkan dengan memperoleh kompensasi. Namun kenyataannya tanah mereka diambil begitu saja, karena tidak bersertifikat.
Berkaitan dengan hal ini, dalam pasal 6 huruf (b) UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, dinyatakan bahwa hak penduduk sebagai anggota masyarakat yang meliputi hak untuk mengembangkan kekayaan negara, hak untuk mengembangkan kemampuan bersama sebagai kelompok, hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat serta hak untuk melestarikan atau mengembangkan perlakuan kehidupan kebudayaannya.
Penjelasan pasal 6 huruf (b) disebutkan hak atas pemanfaatan wilayah warisan adat setempat memberi jaminan, bahwa kelompok penduduk yang telah turun temurun mengembangkan suatu wilayah secara adat, tidak dikalahkan kepentingannya oleh pendatang baru. Jika wilayah adat setempat dikembangkan dalam kegiatan pembangunan, maka penduduk semula diutamakan dalam menikmati nilai tambah wilayahnya, misalnya dalam kesempatan kerja baru dan sebagainya.
Hak masyarakat tradisional sekitar hutan di atur juga Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kehutanan jo UU Nomor 19 Tahun 2004 merumuskan bahwa penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang masih diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Dijelasankan juga dalam pasal 67 ayat (1) UU Nomor 41 Tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004, masyarakat hukum adat diakui keberadaanya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain:
- Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (Rechtsgemeenschap);
- Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
- Ada wilayah hukum adat yang jelas;
- Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati; dan
- Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Masyarakat lokal sekitar hutan dalam memandang hutan sebagai ruang kehidupan yang luas, tidak hanya bermakna produksi atau ekonomi, tetapi juga sumber manfaat lainnya, baik bersifat ekologis ataupun terkait dengan aspek kultural, sehingga makna religi yang menempati kedudukan terhormat. Kepentingan masyarakat lokal sekitar hutan yang menyangkut sendi kehidupannya itu menimbulkan komitmen yang kuat guna memanfaatkan sumber daya hutan sebaik-baiknya. Tentunya, dengan kearifan lokal yang mereka punyai dalam pengelolaan hutan. Dengan demikian kelestarian hutan dan manfaat hutuan, kehidupan mereka secara individu dan kelompok serta dapat menjaga hubungan baik mereka denngan alam, dan Tuhannya.
Sehingga perlindungan hukum yang telah ada dalam peraturan perundang-udangan dapat memberi suatu dasar pijakan dalam pengelolaan sumber daya hutan. Hal itu menyangkut hak kelola dan pengakuan yang tegas terhadap keberadaan masyarkat lokal sekitar hutan. Pengakuan terhadap masyarakat lokal sekitar hutan, dalam peraturan perundang-undangan telah diatur, namun realitasnya banyak terabaikan bila pembangunan itu dilakukan atas nama investasi.
Dalam aspek hukum kedudukan masyarakat lokal sekitar hutan sangat lemah apabila terjadi kasus terhadap pengambilalihan hak milik mereka, karena negara berpijak atas nama kepentingan umum. Ke depan, pemerintah seharusnya mulai memikirkan membuat Rancangan Undang-undang sendiri tentang hak kelola masyarakat lokal. Dan sebagai upaya perlidungan terhadap pengakuan hak kelola masyarakat sekitar hutan, maka pemerintah daerah seharusnya membuat Peraturan Daerah tentang hak-hak masyarakat adat sekitar hutan di wilayahnya masing-masing.
kotijah
Tulisan ini sudah diterbitkan pada alamat blog berikut ini